Langsung ke konten utama

Gombloh iku kan seniman sejati Surabaya..walo uda jadi artis
terkenal ttp ga mau pindah dari Surabaya sampe akhir hayat dan djuluki
pahlawan musik dari Surabaya..moso ga bangga??

Gombloh terlahir dengan nama Soedjarwoto Soemarsono, di Jombang, Jawa Timur, pada 14 Juli 1948. Dia adalah anak anak keempat dari enam bersaudara. Panggilan Gombloh itu diberikan ayahnya semenjak kecil. Menurut Gombloh, nama itu menjadikan hoki dalam karir bermusiknya. ...“Di dalam bisnis musik, nama Gombloh itu membawa keberuntungan bagi saya. Nama Gombloh itu ‘kan mudah diingat,” paparnya. Memang benar demikian adanya. Di setiap kesempatan, entah ketika pentas atau dalam keseharian, para penggemarnya, terutama gadis-gadis, pasti akan menyapanya dengan meriah, “Gombloh, Gombloh, Gombloh!” Kalau sudah begitu, yang diteriaki hanya bisa tersenyum sembari melambaikan tangannya, meski juga terkadang menggerutu, “Memanggil orangtua kok seenaknya,” gumam Gombloh mengingat para penggemarnya rata-rata berusia jauh lebih muda darinya. Namun selanjutnya dia bisa memaklumi itu, “Itulah resiko punya nama Gombloh.” Rupanya, Gombloh sendiri paham makna namanya itu. “Artinya, boleh dibilang tolol, begitulah. Jadi, kalau saya bertingkah yang ndak wajar, misalnya, orang paling-paling cuma bilang, dasar Gombloh!” Gombloh berasal dari keluarga yang sangat biasa. Ayahnya adalah pedagang kecil yang biasa berjualan ayam di pasar. Selepas lulus SMAN 5 Surabaya, Gombloh sempat kuliah di jurusan Arsitektur Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya selama dua tahun namun tak selesai. Gombloh juga sempat hinggap di sebuah universitas yang, anehnya, dia lupa nama perguruan tinggi itu. “Maklum, sudah lama. Cuma sebentar, sekadar mampir,” elak Gombloh seenaknya. Pada 1983, Gombloh menikahi Wiwiek, seorang gadis asal Blitar. Dari perkimpoiannya itu Gombloh dikaruniai seorang anak lelaki yang diberinya nama Remi. Nama itu diambil dari tangga nada 2 dan 3, “re” dan “mi”. Naluri Gombloh sebagai pencipta lagu dan penyanyi rupanya terbawa pula ketika dia menemukan nama untuk anak semata wayangnya itu. Gombloh lebih memilih seni sebagai jalur hidupnya dan kabur ke Bali setelah ketahuan bahwa ia sering mangkir dari bangku kuliah. Di pulau para dewa itulah Gombloh menggembleng dirinya menjadi seniman ulung yang berjiwa bebas dan anti rutinitas seperti apa yang ditemuinya semasa menjadi mahasiswa. Di Bali, pengetahuan musik Gombloh semakin bertambah, dia belajar dari kawan-kawan sesama seniman, kursus-kursus, dan, yang terpenting, dari pengalaman. Gombloh juga sering berinteraksi dengan pemusik-pemusik luar negeri yang sedang berada di Bali. Yang paling sering diajaknya bertukar pikiran adalah Livingstone Taylor, James Taylor, dan Shirley Bassey. Beberapa kali Gombloh main musik satu panggung dengan mereka, di Bali juga. Gombloh terbukti bisa mengimbangi permainan musik para musisi internasional itu, namun Gombloh sekali lagi merendah, “Sebetulnya mereka itu jago, tapi nggak mau menunjukkan diri mereka.” Gombloh mengaku bahwa aliran musiknya berangkat dari keroncong. Semasa masih di kampung halamannya di Jombang, Gombloh sering mendengar lagu-lagu keroncong yang dilantunkan para tetangganya. “Di sekitar rumahku banyak buaya keroncong,” kenangnya. Semula Gombloh hanya mendengarkan nyanyian keroncong tersebut sambil lalu saja, namun, karena terbiasa, lama-lama dia jadi suka. Sajian musik keroncong kelas kampung itu kemudian ternyata mampu membikin Gombloh terpukau, terutama karena suara penyanyinya yang fals. “Nyanyinya seenaknya sendiri, fals, tapi kok kedengarannya enak. Mungkin karena falsnya itu yang bikin enak,” ujar Gombloh. Jadilah, semenjak itu Gombloh justru gandrung dengan suara fals, sumbang, seenaknya sendiri, dan sederhana. Pembawaan yang seperti itulah yang kemudian dilakoni, bahkan menjadi ciri khas Gombloh di sepanjang karir bermusiknya. Penampilan yang alakadarnya itu nyaris konsisten disandang Gombloh, baik di keseharian maupun ketika beraksi di panggung. Satu contoh, ketika Gombloh ikut meramaikan Malam Aksi Musik ’80 yang digelar di Balai Sidang Senayan Jakarta pada 24 Juli 1980. Dengan sangat santai dan acuh, Gombloh yang kala itu masih terhitung baru di ranah musik nasional meskipun dia sudah sangat dikenal di Surabaya, menaiki panggung dengan pakaian lusuh dan menenteng gitar butut kesayangannya. Dengan tampang kriminal, kumis lebat, dan rambut gondrong, Gombloh menyanyi dengan ciri khasnya yang tanpa mengenal tabu. Dia berteriak lantang, berdendang, atau berbicara seenak pusarnya sendiri. Tak pelak, para penonton yang rata-rata masih asing dengan sosok Gombloh, meneriakinya beramai-ramai. Tak jadi soal bagi Gombloh, dia tak ambil pusing dan terus saja menggila di atas pentas. Alakadarnya, Sederhana, Mencipta Segalanya Jiwa bermusik Gombloh begitu sederhana dan tidak neko-neko. Variasi tembang-tembang ciptaannya pun tidak begitu semarak, hanya dari itu ke itu saja. Namun, justru berangkat dengan kejujuran apa adanya, Gombloh hadir dan mampu bermusik dengan leluasa. Kelemahan teknisnya teratasi oleh nuansa yang, meskipun naif, tetapi segar dan mengena. Dalam setiap penampilan panggungnya, Gombloh terasa sekali menyanyi dengan bebas. Tidak ada kelebihan teknis yang macam-macam dan ribet, misalnya dengan menyusupi alunan musiknya dengan efek-efek buatan yang dipercaya mampu menambah kegenitan lagu. Menurut Gombloh, patriotisme berangkat dari keprihatinan, bukan kegenitan, bukan pula kemarahan. “Konsep musik saya adalah rasa. Rasa itu tidak dapat ditinggalkan dari bermusik. Kalau bermusik dengan rasa yang api, jadinya tentu apik,” tutur Gombloh. Di samping itu, Gombloh tidak memerlukan perenungan yang dalam mencipta lagu-lagu dengan lantunan syairnya yang menggemparkan itu, semisal dalam lagu Hong Wilaheng, Kebyar-Kebyar, atau Kami Anak Negeri Ini. Gombloh tidak perlu susah-susah menyepi ke gunung atau ke manapun untuk memperoleh inspirasi. “Apa adanya saja. Spontan saja, kok. Sepuluh menit, jadi!” ujar Gombloh lagi-lagi dengan gaya merendah. Gombloh juga tidak memerlukan waktu khusus dalam menghasilkan suatu lagu. “Ya, seenaknya saja,” akunya, juga dengan gaya bicara seenaknya. Baris-baris syair yang menggetarkan jiwa itu juga bukan dari pengalaman batin yang dialaminya. Gombloh hanya menjawab dengan kesan lugu ketika ditanya dari mana inspirasi syairnya bisa keluar, “Wah, ndak tahu, ya. Keluar dari mana saya ndak tahu. Lha wong ndak kelihatan, kok. Tahu-tahu jadi, begitu.” Menurut Gombloh, ide mencipta lagu itu berasal dari sananya, dari kodratnya sebagai manusia, selayaknya manusia biasa lainnya, humanis. Yang terpenting bagi Gombloh adalah jiwa kemanusiaan. “Saya tidak akan diliputi oleh perenungan yang enggak-enggak. Saya enggak akan berbuat sesuatu hal yang membuat saya lepas dari jalur kemanusiaan saya,” tuturnya. Gombloh adalah penyanyi sekaligus pencipta lagu balada sejati. Keunggulan musisi yang identik dengan rambut dikuncir, baju kumal, topi, dan kacamata hitam, ini adalah mampu mencipta lagu balada dengan segala tema. Ranah nasionalisme, misalnya, telah dikuasainya, dan mendapat respon hangat dari publik. Gombloh pun lihai mencipta lagu kritik sosial dan keseharian rakyat kecil semisal pada lagu Doa Seorang Pelacur, Nyanyi Anak Seorang Pencuri, Kilang-Kilang, Poligami Poligami, Selamat Pagi Kotaku, dan lain sebagainya. Untuk urusan tembang bertema cinta, jangan ditanya lagi. Lagu-lagu asmara, yang terkadang terkesan nakal, semacam Kugadaikan Cintaku, Apel, Hey Kamu, Arjuna Cari Cinta, Karena Iseng, hingga Konsumsi Cinta, menjadi jaminan mutu kualitas lagu-lagu ciptaan Gombloh.Lagu Kugadaikan Cintaku bahkan terjual hingga lebih dari sejuta keping, prestasi yang sangat spektakuler. Pendek kata, Gombloh adalah pelantun lagu balada yang mumpuni di segala tema. Pada album-album awalnya, jenis musik yang diusung penyanyi berbadan ceking ini lebih cenderung bernuansa art rock yang sarat idealis. Disebut idealis karena tentunya Gombloh sadar bahwa lagu-lagu semacam itu bukanlah jenis musik yang kala itu bisa laku di pasaran pada era 1970-an itu. Namun, Gombloh tetap nekad mencipta dan membawakannya. Motivasi bermusik Gombloh sudah agak meluas setelah membentuk grup Lemon Tree’s 1969 bersama Leo Kristi dan Franky Sahilatua di mana Gombloh didaulat sebagai komandannya. Ketika kedua partnernya itu hengkang dari grup dan Gombloh mandiri, dia tetap memanggul nama grupnya itu sendirian. Lemon Tree’s sendiri oleh banyak orang dikatakan sebagai kelompok musik yang beraliran kerakyatan. Dengan gaya khas tahun 1970-an, Gombloh bersama Lemon Tree’s sudah menerapkan seni bermusik tingkat tinggi dengan mengusung genre progresif rock asli Indonesia Memasuki dekade 1980, arah lagu-lagu Gombloh mulai menuju ke orkestral rock yang populis, bisa jadi karena tuntutan pasar industri musik dan tuntutan profesionalismenya sebagai musisi yang sudah digemari. Kendati terlanjur kondang sebagai pemusik yang nyentrik di dalam mencipta dan menggarap musiknya, Gombloh akhirnya mengindahkan juga selera masyarakat. Ukuran kompromis itu, seperti yang dimisalkan Gombloh, dalam satu kaset, ada 3-4 lagu yang dia ciptakan untuk memenuhi syarat-syarat komersial. Namun, sebagai bentuk kepribadian, Gombloh juga tidak akan pernah lupa menyelipkan lagu-lagu yang menjadi selera pribadinya, lagu Hong Wilaheng, misalnya. Lagu yang satu ini memang lain daripada yang lain. Hong Wilaheng disuarakan dengan menggunakan bahasa Jawa bercorak mistik tingkat tinggi. Lirik lagu ini dicomot dari Serat Wedhatama. Meski tetap bernada sederhana, para pengamat musik sangat kesulitan menentukan aliran musik yang dianut Hong Wilaheng. Di era 1980 inilah Gombloh seolah terjerembab pada karya-karya yang berorientasi ke pasar. Sebenarnya bisa saja Gombloh tetap bertahan di jalur yang sudah lama ditekuni, jalur musik menurut apa yang dikehendaki jiwanya. Tapi, Gombloh tak mau egois. Lagi pula, Gombloh sadar bahwa dia adalah bagian dari masyarakat. “Saya sih mau-mau saja bikin musik yang cuma enak buat saya sendiri. Tapi apa lagu kita itu mau kita dengar sendiri atau mau didengar masyarakat? Kalau mau bikin lagu yang cuma didengar kita sendiri, ya bikin saja satu dua,” kata Gombloh. Gombloh pun mulai menulis lagu-lagu bertema pop untuk penyanyi-penyanyi lain, dari Tyas Drastiana hingga Vicky Vendi. Gombloh mulai menyadari, lagu-lagu ciptaannya bernilai jual yang tidak sedikit. Namun soal harga, Gombloh menanggapi dengan luwes, tergantung dengan pesanan, dan dalam hal ini Gombloh bersikap cukup unik. Kalau yang dipesan adalah lagu yang gampang menurut Gombloh, harganya malah lebih mahal. Sebaliknya, jika yang diinginkan lagu-lagu yang menjadi selera Gombloh yang tentu saja lebih sulit dalam proses menciptanya, harganya malah bisa jauh lebih murah. “Bikin lagu yang menurut selera sendiri, sudah mendapatkan kepuasan batin. Uang bukan soal,” tukas Gombloh. Dia memang tak acuh pada uang. Gombloh sering membagi rejeki pada orang lain, pada tukang becak ataupun para pelacur yang oleh Gombloh sudah dianggap sebagai saudaranya. Tak heran jika nama Gombloh sangat terkenal di seantero Surabaya dan Jawa Timur. Dari siswi-siswi SMA hingga kaum perempuan penjaja kenikmatan, dari anak kuliahan sampai preman terminal, semua kenal seorang seniman bernama Gombloh. Menyandang gelar musisi terkenal tidak membuat Gombloh menjadi jumawa. Dia tidak suka menonjolkan sisi kondang dirinya, juga tak menyukai orang lain berbuat seperti itu. Dalam suatu pementasan bersama penyanyi-penyanyi lain, misalnya, Gombloh hanya bisa menelan ludah keprihatinan ketika salah seorang musisi tidak mampu menguasai acaranya sendiri. Karena tidak mendapat respon yang antusias dari penonton, si penampil itu bahkan sempat-sempatnya berteriak kepada penonton agar memberikan tepuk tangan untuk dirinya. Gombloh tidak setuju dengan sikap figur publik yang seperti itu dan hanya meringis geli sekaligus miris melihat reaksi penonton yang tidak berubah, tetap sepi. Mereka Memuja Gombloh Gombloh adalah maestro pada masanya. Lagu-lagu ciptaannya yang juga dinyanyikannya sendiri merupakan rajutan unsur seni berkelas tinggi dan tidak asal enak didengar meski pada kenyataannya lagu-lagu Gombloh pada umumnya memang sangat renyah di telinga. Kualitas karya ciptaan Gombloh terbukti sahih ketika para peneliti asing merasa kesulitan dalam menggolongkan genre untuk beberapa lagu Gombloh yang terdengar nyeleneh. Inilah fakta bahwa Gombloh tidak seenaknya saja dalam mencipta lagu. Meski berbalut kesederhanaan dalam penyajiannya, lagu-lagu Gombloh nyatanya memuat kerumitan dan menggunakan teknik yang lumayan tinggi serta memberikan pengaruh yang tidak sedikit bagi para penggemarnya maupun penikmat musik pada umumnya. Meski sudah berjaya di level nasional, Gombloh enggan hijrah ke Jakarta. Dia stidak tergiur untuk hijrah ke ibukota seperti yang dilakukan oleh kebanyakan musisi dari daerah, kendati Gombloh terpaksa harus sering bolak-balik ke Jakarta untuk memenuhi panggilan pentas. Namun Gombloh tetap bangga dengan komunitasnya di Surabaya, dia masih cinta dengan tanah yang membesarkannya. Gombloh seperti ingin membuktikan bahwa kesuksesan dan ketenaran bukan hanya bisa didapat di Jakarta.Dia memilih tetap bertahan di Surabaya bersama semua kawan-kawann seperjuangannya. Gombloh adalah Silhouette Kuda Jantan –seperti salahsatu judul lagunya– yakni perlambang keberanian dan penggebrak sejarah seni musik Indonesia. Pengaruh dan fanatisme penggemar Gombloh terprasasti dalam sebuah patung seberat 200 kilogram yang terbuat dari perunggu. Pembuatan Monumen Gombloh yang ditempatkan di halaman Taman Hiburan Rakyat Surabaya ini bermula dari gagasan sejumlah seniman yang bermukim di Surabaya dan sekitarnya. Pada 1996, mereka sepakat membentuk Solidaritas Seniman Surabaya dengan misi menciptakan suatu kenangan untuk Gombloh yang dianggap sebagai pahlawan bagi kalangan seniman Surabaya. Bahkan pada 20 Juni 2003 sekelompok pemusik Surabaya tergabung dalam Kelompok Pemusik Jalanan Surabaya menobatkan Gombloh sebagai Pahlawan Pemusik Jalanan. Selanjutnya pada 2005, oleh PAPPRI (Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu dan Penata Musik Rekaman Indonesia), Gombloh dianugerahi penghargaan Nugraha Bhakti Musik atas jasa-jasanya untuk dunia musik di Indonesia. Karya Gombloh sangat familiar dan meninggalkan kenangan mendalam bagi pandemen musik di era 1970 hingga akhir 1980-an. Saking berpengaruhnya, lagu-lagu Gombloh bahkan dijadikan obyek penelitian oleh Martin Hatch, peneliti dari Universitas Cornell, Amerika Serikat. Hatch mengangkat hasil penelitiannya ini dalam karya ilmiah berjudul “Social Criticsm in the Songs of 1980’s Indonesian Pop Country Singers” yang dibawakan dalam seminar musik The Society of Ethnomusicology di Toronto, Kanada, pada 2-5 November 2000. Dalam makalahnya, Hatch meneliti kekuatan dan pengaruh karya cipta Gombloh dalam perspektif kehidupan sosial seperti yang terkandung dalam lagu Berita Cuaca, Sekar Mayang, Denok-Denok Debleng, Ujung Kulon Baloran, 3600 Detik, Hitam Putih, Kami dan Alam, serta Kebyar-Kebyar yang monumental itu. Konon, lagu-lagu tersebut kini diabadikan di suatu museum musik di Amerika Serikat. Hari kelabu, tanggal 9 Januari 1988, iring-iringan kendaraan bermotor memadati jalan raya Kota Surabaya. Di sisi kiri dan kanan jalan, masyarakat berkerumun dengan mimik sendu yang serempak.Rombongan itu sedang mengantarkan jenazah Gombloh ke tempat peristirahatan terakhirnya. Gombloh wafat karena penyakit yang lama menggerogotinya. Raganya yang rentan sakit, ditambah lagi dengan ketidakstabilan pola hidup dan kebiasaan merokoknya, serta sering keluar malam, membuat penyakitnya kian akut. Sang Ilahi menjemputnya dalam kedamaian. Namun Gombloh masih saja tetap tersenyum dengan gaya nakalnya yang membikin rind

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIOGRAFI AYAH GURU

  Ayah Guru MENGENANG & Meneladani YM. Ayahanda Guru dalam haul 9 Mei 2021 Berikut biografi singkat Ym. Ayahanda Guru  Sayyidi Syeikh Prof. Dr. H. Kadirun Yahya Muhammad Amin Al-Khalidi. *1. Kelahiran-* Ayahanda Guru lahir 20 Juni 1917 / 30 Sya'ban 1335 H. di Pangkalan Brandan Sumatera Utara. Orang tua Ayahanda Guru  bernama  Sutan Sori Alam Harahap dan ibunda Siti Dour Siregar. Nenek Ayahanda Guru adalah 2 orang Syaikh Tariqat yaitu Syaikh Yahya dari bapak dan Syaikh Abdul Manan dari pihak ibu. Ayahanda Guru awalnya  bernama Muhammad Amin, karena Ayahanda sampai berumur 2 tahun sering kurang sehat. Kemudian, orang tua Ayahanda Guru mendapat ilham agar untuk menganti nama Ayahanda Guru menjadi Kadirun Yahya dan Ayahanda Guru tidak sakit lagi dan ketika Ayahanda Guru telah menjadi Syaikh meminta ijin untuk menuliskan nama kecil beliau Muhammad Amin. Dari masa kecil Ayahanda Guru sudah banyak memiliki keistimewahan, hal ini di sampaikan langsung oleh Nenek Sya...

"Hai Jiwa Jiwa Yang Tenang .....,"

Salah satu ciri orang sabar adalah mampu menempatkan diri dan bersikap optimal dalam setiap keadaan.  Sabar bukanlah sebuah bentuk keputusasaan, melainkan optimisme yang terukur. Ketika menghadapi situasi di mana kita harus “marah” misalnya, maka marahlah secara bijak serta diniatkan untuk mendapatkan kebaikan bersama.  Karena itu, mekanisme sabar dapat melembutkan hati, menghantarkan sebuah kemenangan yang manis atas dorongan syaithaniyah untuk menuruti ketidakseimbangan pemuasan hawa nafsu.  Dalam shalat dan sabar terintegrasi proses latihan yang meletakkan kendali diri secara proporsional, mulai dari gerakan (kecerdasan motorik), inderawi (kecerdasan sensibilitas), aql, dan pengelolaan nafs menjadi motivasi yang bersifat muthma’innah.   Jiwa muthma’innah atau jiwa yang tenang inilah yang akan memiliki karakteristik malakut untuk mengekspresikan nilai-nilai kebenaran absolut.  "Hai jiwa yang tenang (nafs yang muthmainah). Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati...